Dulu dirumahkan, kini memimpin ruang rapat. Begini transformasi besar dalam jiwa dan peran perempuan Indonesia!
NURULEKA.COM - Dari Tunduk ke Tangguh: Evolusi Psikologis Perempuan Indonesia
Selama berabad-abad, perempuan Indonesia dibentuk oleh norma budaya dan struktur kekuasaan patriarki. Perubahan tidak hanya terjadi secara fisik atau sosial, tapi juga secara psikologis—dari cara berpikir, merasa, dan memaknai diri sendiri.
1. Zaman Kolonial & Feodalisme: Perempuan sebagai Pelengkap
Pada era ini, psikologi perempuan dibentuk oleh nilai subordinasi dan kepatuhan. Pendidikan dibatasi, dan identitas perempuan dilekatkan pada tiga kata: konco wingking, kasur, dan dapur.
Dampak Psikologis:
• Low self-esteem
• Ketergantungan emosional & ekonomi pada laki-laki
• Rasa malu untuk bersuara di ruang publik
Referensi:
– Suryakusuma, Julia. (1996). State Ibuism: The Social Construction of Womanhood in New Order Indonesia.
– Kartini, Habis Gelap Terbitlah Terang
2. Zaman Pergerakan Nasional: Munculnya Kesadaran Kolektif
Tokoh-tokoh seperti Kartini, Dewi Sartika, Rasuna Said, dan Cut Nyak Dhien membuka ruang bagi kesadaran gender dan nasionalisme dalam jiwa perempuan. Kesadaran akan ketertindasan mulai tumbuh seiring dengan kebangkitan nasional.
Dampak Psikologis:
• Muncul sense of purpose
• Dorongan untuk belajar & berkontribusi di luar rumah
• Emosi kolektif terhadap penindasan
Referensi:
– Blackburn, Susan. (2004). Women and the State in Modern Indonesia
– Sukarno. (1963). Sarinah: Kewadjiban Wanita dalam Perdjoangan Republik Indonesia
3. Era Orde Baru: Pencitraan Ibu Negara dan “State Ibuism”
Pemerintahan Orde Baru membentuk citra ideal perempuan sebagai istri yang setia dan ibu rumah tangga yang patuh. Negara mengarahkan psikologi perempuan untuk fokus pada keluarga, bukan karier atau aktivisme.
Dampak Psikologis:
• Internalisasi nilai konservatif
• Konflik batin antara “peran ideal” dan “diri yang ingin bebas”
• Pola pengasuhan yang memperkuat patriarki
Referensi:
– Suryakusuma, Julia. (1996). State Ibuism
4. Era Reformasi hingga Digital: Perempuan sebagai Subjek Penuh
Reformasi membuka ruang politik dan sosial yang luas. Perempuan mulai menduduki posisi publik, menjadi aktivis, CEO, bahkan presiden. Era digital memberi akses informasi, membentuk psikologi baru: perempuan sebagai agen perubahan.
Dampak Psikologis:
• Meningkatnya self-agency dan self-confidence
• Perempuan berani menyuarakan trauma & ketidakadilan (contoh: #MeToo, #LawanBersama)
• Tantangan baru: tekanan kecantikan digital, mental load, beban ganda
Data Terkini:
- Menurut BPS (2023), 40% perempuan Indonesia adalah kepala rumah tangga dalam sektor informal
- Laporan Google-UN Women (2022): 58% perempuan Gen Z di Indonesia aktif dalam advokasi isu gender di media sosial
- Laporan UNDP: Perempuan Indonesia mengalami peningkatan partisipasi politik sebesar 21% sejak 2004
Perubahan Perempuan = Perubahan Bangsa
Perempuan Indonesia telah mengalami revolusi psikologis dan sosial dari objek menjadi subjek. Dari masa penindasan hingga kepemimpinan, perubahan ini bukan terjadi secara alami, tapi hasil dari perjuangan panjang—baik individu maupun kolektif.
Namun perjuangan belum selesai. Di balik pencapaian, masih ada ketimpangan, kekerasan berbasis gender, dan beban mental yang belum sepenuhnya diatasi.
Karena seperti kata Bung Karno dalam Sarinah:
"Soal wanita adalah soal masyarakat. Tidak mungkin masyarakat sehat jika perempuannya masih tertindas."
Komentar0