GfdpTpzpTSOlTfzoGUzpTpC7Td==

Ternyata Bung Karno Pernah Menulis Buku Khusus untuk Perempuan: Ini Isi Penting ‘Sarinah’ yang Harus Kamu Tahu!


“Tiada orang lain dapat menolong wanita, melainkan wanita sendiri!” — Soekarno

NURULEKA.COM - Kenapa Bung Karno Menulis Buku untuk Perempuan di Tengah Perang?

Bayangkan: tahun 1946, Indonesia baru merdeka tapi langsung dihadapkan pada agresi militer Belanda. Saat semua orang fokus pada pertahanan negara, Bung Karno justru mengumpulkan perempuan dan mengadakan Kursus Wanita. Tentu banyak yang bingung. Apa pentingnya bicara soal perempuan ketika peluru masih berseliweran?

Tapi di sanalah letak jeniusnya Sukarno. Ia tahu, kemerdekaan tidak akan lengkap tanpa membebaskan perempuan dari rantai ketertindasan ekonomi, sosial, dan budaya. Setahun setelah kursus itu, ia menyusun pemikiran-pemikirannya dalam sebuah buku berjudul “Sarinah”—nama pengasuhnya saat kecil yang mewakili sosok perempuan jelata Indonesia.

Sarinah: Simbol Perempuan Marhaen yang Tertindas dan Tangguh

Sarinah bukan hanya seorang ibu pengasuh. Ia adalah simbol perempuan kelas bawah yang bekerja keras di luar rumah, lalu tetap harus mengurus rumah tangga sepulang kerja. Ia adalah potret “double burden” yang hingga hari ini masih kita temui di banyak perempuan.

Lewat Sarinah, Bung Karno menggambarkan bahwa penindasan perempuan bukan hanya soal budaya patriarki, tapi lebih dalam: karena perempuan tidak diberi posisi penting dalam proses produksi (ekonomi). Bagi Sukarno, persoalan perempuan adalah persoalan masyarakat—akar utamanya ada pada ketimpangan sistem sosial dan ekonomi.

3 Tingkatan Pergerakan Perempuan Menurut Soekarno

Bung Karno membagi pergerakan perempuan menjadi tiga tahap:

  1. Tingkatan Keperempuanan – Perempuan berjuang hanya untuk mempercantik diri demi menyenangkan suami.
  2. Feminisime Borjuis – Perempuan kelas menengah menuntut hak kerja dan partisipasi ekonomi.
  3. Pergerakan Sosialis – Perempuan menyadari bahwa pembebasan sejati hanya bisa terjadi jika struktur masyarakat diubah. Di sinilah posisi Sarinah.

Apa yang Harus Dipahami Perempuan dari Sarinah?

  1. Ketertindasan bukan takdir, tapi hasil dari sistem yang timpang.
  2. Perempuan harus ikut berjuang dalam Revolusi Nasional, bukan hanya duduk manis sebagai pelengkap.
  3. Kesetaraan bukan sekadar akses kerja, tapi penataan ulang sistem sosial yang memungkinkan perempuan berdaya di ruang publik dan domestik.

Sukarno tak mengajak perempuan untuk kembali ke era matriarki—itu nostalgia yang menurutnya mustahil secara historis. Tapi ia mengajak kita membangun masyarakat baru yang adil, di mana laki-laki dan perempuan bisa berjalan sejajar, bukan satu di atas yang lain.

Mengapa Ini Masih Relevan Hari Ini?

Saat ini, perempuan mungkin lebih bebas bicara, lebih mudah mengakses pendidikan, bahkan duduk di kursi parlemen. Tapi beban ganda? Pelecehan? Upah tak setara? Masih jadi masalah nyata.

Kapitalisme hari ini telah berubah bentuk: dari pabrik ke algoritma. Namun tubuh dan kerja perempuan masih menjadi komoditas. Sarinah masih hidup dalam banyak perempuan hari ini, dalam bentuk baru yang perlu dikenali dan dilawan.

Sarinah Bukan Masa Lalu, Tapi Tugas Sejarah

‘Sarinah’ bukan buku kuno yang hanya layak dibaca saat Hari Kartini. Ia adalah peta jalan perjuangan perempuan Indonesia. Pesannya sederhana namun menggugah: perempuan harus bangkit, sadar, dan berjuang—bersama rakyat—untuk membangun masyarakat yang adil dan setara.

“Wahai wanita Indonesia… bangkitlah sehebat-hebatnya… karena tiada orang lain dapat menolong wanita, melainkan wanita sendiri!” – Soekarno

Komentar0

https://www.nuruleka.com/search/label/Pejuang%20Rupiah

Type above and press Enter to search.