“Perempuan harus ikut dalam perjuangan, sebab hanya perempuan sendirilah yang bisa mengubah nasibnya.” – Soekarno, Sarinah
NURULEKA.COM - Perempuan, Penjajahan, dan Revolusi yang Dilupakan
Selama masa penjajahan Belanda, sejarah kita lebih banyak menyorot perjuangan bersenjata laki-laki atau diplomasi kaum pria. Padahal, perempuan Indonesia telah memainkan peran penting dalam perjuangan melawan kolonialisme, baik secara fisik, intelektual, maupun kultural. Sayangnya, banyak dari mereka tak tercatat dalam buku sejarah secara adil.
Melalui Sarinah, Bung Karno menegaskan bahwa perjuangan perempuan bukan perjuangan kelas dua. Bahkan, dalam kondisi negara baru merdeka pun, ia menganggap penting memberikan kursus khusus bagi perempuan. Artinya jelas: Soal perempuan adalah soal masyarakat.
Berikut beberapa tokoh perempuan Indonesia yang secara gagasan dan tindakan, beririsan dengan ideologi Sarinah—yakni perjuangan perempuan marhaen, untuk membebaskan diri dan bangsanya.
1. Cut Nyak Dhien – Sosok Revolusioner Perempuan Aceh
Apa yang Dilakukan?
Setelah suaminya gugur dalam perang Aceh melawan Belanda, Cut Nyak Dhien mengambil alih komando pasukan dan terus memimpin perlawanan. Bahkan dalam kondisi tua dan sakit, ia tetap gigih hingga akhirnya ditangkap dan diasingkan.
Kaitannya dengan Sarinah:
Ia adalah representasi Sarinah yang berani. Tidak menunggu izin, tidak duduk diam, ia turun langsung ke medan perang demi kebebasan rakyat.
2. Nyi Ageng Serang – Panglima Perang di Usia 70 Tahun!
Apa yang Dilakukan?
Beraliansi dengan Pangeran Diponegoro, ia mengatur strategi perang dan memimpin pasukan dari daerah Serang melawan Belanda, bahkan saat usianya menginjak 70 tahun!
Kaitannya dengan Sarinah:
Perempuan sebagai subjek sejarah, bukan objek. Ia membuktikan bahwa usia dan gender bukan halangan untuk menjadi bagian dari perjuangan revolusioner—tepat seperti visi Soekarno dalam Sarinah.
3. Dewi Sartika – Revolusi Lewat Pendidikan
Apa yang Dilakukan?
Mendirikan sekolah khusus perempuan pertama di Hindia Belanda (1904), Sekolah Istri, yang kemudian berkembang luas menjadi Sekolah Kaoetamaan Istri. Ia percaya bahwa pendidikan adalah pintu kemerdekaan perempuan.
Kaitannya dengan Sarinah:
Bung Karno percaya perempuan harus cerdas dan ikut serta dalam pembangunan bangsa. Dewi Sartika menciptakan ruang itu lebih awal, agar perempuan tidak hanya menjadi pelengkap, tapi penggerak.
4. Rasuna Said – Politisi, Jurnalis, Orator Ulung
Apa yang Dilakukan?
Dengan keberanian luar biasa, ia menyuarakan kemerdekaan Indonesia dan emansipasi perempuan lewat pidato-pidato membakar dan tulisan kritis. Ia sempat dijatuhi hukuman penjara karena aktivitas politiknya.
Kaitannya dengan Sarinah:
Rasuna Said adalah potret perempuan yang melawan dengan intelektualitas. Ia membawa suara rakyat ke ruang publik dan politik, menggemakan semangat sosialisme seperti yang ditulis Bung Karno.
5. Kartini – Lebih dari Surat-Surat Keperempuanan
Apa yang Dilakukan?
Melalui korespondensinya dengan tokoh Belanda, Kartini menggugat sistem feodal patriarkis dan merancang konsep pendidikan bagi perempuan Jawa. Ia adalah pelopor kesadaran perempuan di masa kolonial.
Kaitannya dengan Sarinah:
Meski berada pada tingkatan pertama menurut klasifikasi Bung Karno (berangkat dari kalangan priyayi), pemikiran Kartini memicu kesadaran kolektif dan menjadi fondasi menuju tingkat feminisme dan sosialisme perempuan.
Sarinah Ada di Mana-Mana
Buku Sarinah bukan sekadar panduan ideologis, tapi juga refleksi sejarah. Perempuan Indonesia sudah lama berjuang—bukan hanya untuk haknya sebagai perempuan, tapi juga untuk bangsanya. Dari medan perang hingga ruang kelas, dari pena hingga mimbar orasi, mereka semua adalah Sarinah.
Maka pertanyaannya kini:
Apakah kamu sudah menjadi bagian dari perjuangan hari ini? Karena seperti pesan Bung Karno:
“Tiada orang lain dapat menolong wanita, melainkan wanita sendiri.”
Komentar0