NURUL EKA - Selama berabad-abad, politik dianggap sebagai arena maskulin—penuh debat, kekuasaan, dan strategi. Namun perlahan, perempuan memasuki panggung ini, bukan hanya sebagai pelengkap kuota atau simbol kesetaraan, melainkan sebagai agen perubahan yang membawa perspektif baru. Pertanyaannya kini: apakah kehadiran perempuan dalam politik sungguh bisa membuat perbedaan?
Jawabannya adalah: ya, jika kita memberi mereka ruang, kesempatan, dan penghargaan yang setara.
Perempuan membawa cara pandang yang berbeda dalam merumuskan kebijakan. Mereka lebih cenderung mengedepankan empati, kesejahteraan jangka panjang, dan keberlanjutan. Isu-isu seperti pendidikan, kesehatan ibu-anak, perlindungan sosial, hingga keadilan gender sering kali naik ke permukaan karena suara perempuan di parlemen. Bukan karena laki-laki tak mampu memperjuangkannya, tetapi karena perempuan mengalaminya secara langsung.
Namun, jalan perempuan menuju politik tidaklah mudah. Masih banyak anggapan bahwa perempuan ‘terlalu emosional’ untuk mengambil keputusan besar, atau bahwa politik bukan tempat yang ‘layak’ bagi mereka. Pandangan ini harus dilawan, bukan dengan kemarahan, tapi dengan pembuktian. Setiap perempuan yang berani tampil dalam kontestasi publik—baik sebagai pemilih, aktivis, hingga calon legislatif—sedang membuka jalan bagi generasi setelahnya.
Contoh nyata hadir dari tokoh-tokoh seperti Sri Mulyani, Risma, hingga Tri Rismaharini. Mereka menunjukkan bahwa kepemimpinan perempuan tidak hanya efektif, tetapi juga menyentuh akar persoalan masyarakat. Di tingkat global, nama seperti Jacinda Ardern menginspirasi dunia bahwa kekuatan bisa tampil dalam wujud kelembutan dan ketegasan yang bersamaan.
Namun perjuangan belum selesai. Representasi perempuan dalam politik Indonesia masih belum mencapai 30 persen, batas minimal yang dianggap mampu mengubah arah kebijakan secara signifikan. Untuk itu, kita tidak hanya butuh lebih banyak perempuan dalam politik—kita butuh mereka yang memiliki visi, keberanian, dan integritas.
Saat perempuan bersuara dalam politik, kita tidak hanya menambah jumlah, tapi juga memperluas cakrawala. Kita tidak hanya berbicara tentang keterwakilan, tetapi tentang transformasi. Karena perempuan dalam politik bukan soal kuota, tapi tentang kualitas demokrasi yang lebih utuh.
Maka, ketika seorang perempuan memutuskan untuk maju—di tengah stigma, cibiran, dan tantangan—dia tidak hanya membawa dirinya. Ia membawa harapan, pengalaman, dan masa depan yang lebih adil bagi semua.